Air Hangat




Minggu pagi, begitu adzan subuh terdengar, Wieta langsung bangkit dari tempat tidurnya. Mama yang bersiap sholat heran melihatnya. Biasanya bila hari minggu wieta paling malas bangun pagi. Pagi ini memang lain, papa akan datang. Wieta tak sabar lagi ingin segera bertemu. Papa wieta seorang eksportir mebel jati. Akhirnya, ia menjual mebel jati ke pasar luar negeri. Sejak minggu lalu, papa mengikuti pameran dagang di India. Hari ini papa pulang.
   Papa tiba di rumah sekitar pukul tujuh pagi, ia membeli berbagai macam oleh-oleh untuk mama, eyang putri dan wieta.
   ”Pa, disana asyik ga?” tanya wieta menimang bonekanya.
   ”Ceritanya nanti ya, papa mau nengok Mbah Bejo dulu.”
   Papa meneguk air jahe yang disediakan mama kemudian bergegas membawa oleh-oleh ke kamar Mbah Bejo.
Dari ruang keluarga tempat wieta dan mama duduk, terlihat Mbah Bejo dan papa bercakap sejenak. Lalu papa menyiapkan air hangat untuk mandi Mbah Bejo. Wieta cemberut mengamati semua itu. Kenapa sih selalu Mbah Bejo yang diutamakan papa? Keluh wieta.
   Seharian itu wieta terus bersungut-sungut. Ia mengunci diri di kamar dan menolak makan bareng papa. Ia masih kesal. Kalau sedang tak pergi, papa selalu menyiapkan sendiri air hangat untuk mandi Mbah Bejo. Apa sih istimewanya mbah Bejo? Sampai mengalahkan anak kandungnya sendiri? Wieta benar-benar sebal. Tanpa terasa air matanya menitik, makin lama makin deras membasahi bantalnya. Akhirnya karena kelelahan, wietapun tertidur.
   Sebuah tepukan lembut membangunkan wieta dari tidurnya, ia membuka matanya. Saat tau papa yang membangunkannya, wieta berbalik membelakangi.
   ”kita makan di Bukit Pakar, yuk..” bujuk papa
   mendengar Bukit Pakar, wieta langsung bangkit. Makan di alam berudara sejuk sambil menikmati gemerlap lampu kota Bandung, tentu tak boleh ditolak. Ia pun bergegas ke kamar mandi.
   Wieta memesan hidangan pembuka sup Zuppa. Pelan ia memecah roti yang menutupi krim sup. Kemudian menyendoknya sesuap demi sesuap. Hmmm.. udara dingin makan sup panas, nikmat sekali..
   ”Enak sekali sup Zuppa ini,pa.”
   ”Mbah Bejo mungkin suka diajak ke sini ya,”sahut papa sambil terus menelan supnya.
   Wieta tersedak mendengar nama Mbah Bejo tersebut.
   ”Kenapa papa selalu teringat Mbah Bejo sih?” tanya wieta kesal.
   Papa menghentikan makannya, dengan lembut ia berucap..
   ”Berkat jasa Mbah Bejo, kita bisa makan disini,wiet,: ujar papa kalem.
   Wieta terbelalak kaget mendengar ucapan papa.
   ”Eyang Kakung memulai usahanya dengan berjualan kursi jati keliling kampung. Mbah Bejolah yang membantu memikulnya. Ia pembantu yang sangat setia. Berkat kerja keras mereka berdua, usaha mebel ini berkembang baik. Mereka mendapat langganan di beberapa daerah. Mbah Bejo dipercaya Eyang mengurus pengiriman barang. Suatu ketika Mbah Bejo mendapat kecelakaan, syaraf tulang belakangnya ada yang rusak. Mbah Bejo lumpuh. Sejak itu Mbah Bejo ditugasi mengawasi keuangan.
   Sejak Mbah Bejo lumpuh, Eyang Kakunglah yang menyiapkan air mandi Mbah Bejo. Dulu papa juga jengkel pada Eyang yang berlebihan memperhatikan pembantu yang satu itu, Namun setelah Eyang menjelaskan jasa Mbah Bejo, papapun jadi mengerti. Mbah Bejo telah membantu Eyang menjadi kaya. Menurut Eyang, Mbah Bejo pantas mendapatkan perhatian khusus. Pesan Eyang, jika Eyang meninggal, papalah yang bertugas menyediakan air hangat Mbah Bejo. Kau tau wiet, Mbah Bejo amat bahagia mendapat perhatian sederhana ini.”
   Wieta tertegun mendengar cerita papa. Ia tidak menyangka demikian besar jasa Mbah Bejo terhadap keluarganya. Wieta menatap gemerlap lampu kota Bandung di kejauhan. Ia membayangkan dulu sekali di suatu siang yang terik...Eyang dan Mbah Bejo memikul kursi keliling kampung. Betapa berat perjuangan mereka. Kini ia yang tanpa usaha ap-apa dapat menikmati indahnya pemandangan Bukit Pakar sambil menikmati lezatnya hidangan di kafe. Semua itu berkat pengorbanan mereka. Ah, tak sepantasnya ia marah jika papa memberikan perhatian lebih pada Mbah bejo.
   ”Pa, maafkan wieta, ya..
    wieta janji gak akan ngambek lagi jika papa memberikan perhatian lebih pada Mbah Bejo,” ujar wieta tulus.
   Papa tersenyum sumringah.
   ”Kita sebaiknya belajar dari Eyang Kakung yang begitu menghargai jasa orang lain terhadap dirinya.”
wieta mengangguk tanda mengerti. Ada perasaan lega di dadanya setelah mendengar penjelasan papa. Ia pun berjanji tak akan memperlakukan pembantunya semena-mena.



Oleh : Mudjibah Utami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please do not spam